JAKARTA - Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif melalui Direktorat Penerbitan dan Fotografi mengupayakan regulasi Kebijakan PPh (Pajak Penghasilan) atas Royalti Penulis dapat memperkuat ekosistem literasi nasional dan tidak menghambat kreativitas penulis dalam berkarya.
"Penulis adalah fondasi utama perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya. Karena itu, kebijakan yang menaungi mereka harus mampu memberikan rasa keadilan sekaligus untuk berkembang. Dan yang pasti kami ingin memastikan bahwa regulasi perpajakan dapat mendukung kreativitas, bukan menghambatnya, sehingga penulis dapat berfokus pada penciptaan karya tanpa terbebani proses teknis yang rumit,” kata Deputi Bidang Kreativitas Media Kementerian Ekraf Agustini Rahayu dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta,, Senin.
Kemenekraf menggelar diskusi Terbatas Rekonstruksi Kebijakan PPh (Pajak Penghasilan) atas Royalti Penulis yang membahas kebijakan perpajakan yang selama ini menjadi perhatian para penulis dan pelaku industri buku.
Dalam diskusi ini berbagai pihak di industri literasi seperti penulis, penerbit, komunitas, hingga kementerian dan lembaga terkait dilibatkan untuk memberi masukan demi memperbaiki tata kelola PPh atas royalti penulis agar lebih sederhana.
Sebab kebijakan PPh atas royalti penulis saat ini masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama terkait mekanisme pemotongan dan beban administrasi yang harus ditanggung para kreator karya tulis.
Dalam kebijakan yang berlaku, penghitungan PPh atas royalti dan penghasilan dari pekerjaan bebas menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). NPPN merupakan metode untuk menentukan besaran penghasilan bersih bagi wajib pajak pribadi yang menjalankan usaha atau profesi mandiri. Mekanisme ini kerap menimbulkan pertanyaan di kalangan penulis terkait kompleksitas, kesesuaian, serta dampaknya terhadap produktivitas mereka.
Guru Besar Bidang Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si yang bergabung sebagai salah satu perumus kebijakan menekankan bahwa literasi memiliki dampak positif yang besar bagi masyarakat.
“Jika kita berbicara mengenai industri literasi, seharusnya prinsipnya adalah No Tax on Knowledge. Industri ini menghasilkan eksternalitas positif yang sangat besar, sehingga sudah selayaknya mendapatkan perlakuan perpajakan yang lebih sederhana, murah, efisien, dan tidak membebani penulis dengan beban administrasi yang berat,” ujarnya.
Asma Nadia, penulis dan perwakilan ekosistem perbukuan nasional, menyampaikan apresiasinya atas konsistensi Kementerian Ekraf dalam memfasilitasi pembahasan rekonstruksi kebijakan PPh atas royalti penulis. Ia menambahkan bahwa perjuangan terkait masalah ini telah berlangsung lama.
“Sebagai penulis, dan mewakili rekan-rekan lainnya, kami sangat merasakan betapa menantangnya bertahan dalam profesi ini. Karena itu, kami benar-benar berterima kasih atas kesungguhan pemerintah dalam mengupayakan perubahan,” tegasnya.